Minggu, 04 Januari 2015

Study Kasus Perkembangan Telematika



JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah Australia diduga melakukan penyadapan terhadap 10 telepon seluler pejabat Indonesia pada tahun 2009. Dua di antaranya, yaitu Wakil Presiden Boediono dan Dino Pati Djalal (kala itu Juru Bicara Presiden Urusan Luar Negeri), menggunakan ponsel pintar BlackBerry yang dikenal mengutamakan keamanan.
Informasi ini terungkap dari dokumen rahasia yang dibocorkan Edward Snowden, mantan karyawan Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat.
Dalam dokumen tercatat, ponsel yang dipakai Boediono dan Dino Pati Djalal adalah BlackBerry seri Bold 9000.
PR Manager BlackBerry Indonesia Yolanda Nainggolan enggan berkomentar soal isu penyadapan ponsel BlackBerry yang digunakan dua pejabat tersebut. “Kami tidak bisa berkomentar banyak karena kami juga belum mengetahui bentuk penyadapannya seperti apa,” terang Yolanda saat ditemui di Jakarta, Selasa (19/11/2013).
Selama ini keamanan menjadi fokus BlackBerry dalam menyediakan layanan untuk segmen korporasi dan pemerintah. Namun, hal itu tidak menjamin ponsel BlackBerry terbebas dari penyadapan.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S Dewa Broto mengatakan, ponsel BlackBerry yang dikenal aman sekalipun bisa disadap. "Pada dasarnya ponsel apa saja bisa disadap, dan caranya terbilang mudah," katanya.
Selain BlackBerry, ponsel merek lain juga digunakan oleh pejabat Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya, Kristiani Herawati atau lebih dikenal dengan Ani Yudhoyono, tercatat memakai Nokia E90.
Pejabat lain yang disadap adalah Jusuf Kalla yang menggunakan Samsung SHG-Z370, Andi Mallarangeng memakai Nokia E71, Widodo Adi Sucipto dengan Nokia E66, serta Hatta Rajasa, Sofyan Djalil, dan Sri Mulyani Indrawati memakai Nokia E90.

Hukuman untuk penyelenggara telekomunikasi yang menyadap
Aksi penyadapan ponsel dapat dilakukan melalui jaringan yang dimiliki penyelenggara telekomunikasi. Sejauh ini, menurut Gatot, belum terbukti apakah kegiatan penyadapan tersebut dilakukan atas kerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi atau operator seluler di Indonesia.
“Namun, jika kemudian terbukti, maka penyelenggara telekomunikasi yang bersangkutan dapat dikenai pidana yang diatur dalam UU Telekomunikasi dan UU ITE,” kata Gatot.
Aksi penyadapan bertentangan dengan Pasal 40 UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang melarang setiap orang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi.
Penyadapan juga dilarang dalam Pasal 31 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut Gatot, penyadapan dimungkinkan untuk tujuan tertentu, tetapi harus mendapat izin dari aparat penegak hukum.
Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Telekomunikasi, adalah kurungan penjara maksimal 15 tahun. Sementara dalam Pasal 47 UU ITE, hukuman maksimal atas kegiatan penyadapan adalah penjara 10 tahun atau denda paling banyak Rp 800 juta.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar