JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah Australia diduga
melakukan penyadapan terhadap 10 telepon seluler pejabat Indonesia pada tahun
2009. Dua di antaranya, yaitu Wakil Presiden Boediono dan Dino Pati Djalal
(kala itu Juru Bicara Presiden Urusan Luar Negeri), menggunakan ponsel pintar
BlackBerry yang dikenal mengutamakan keamanan.
Informasi ini terungkap dari dokumen rahasia yang
dibocorkan Edward Snowden, mantan karyawan Badan Keamanan Nasional Amerika
Serikat.
Dalam dokumen tercatat, ponsel yang dipakai Boediono
dan Dino Pati Djalal adalah BlackBerry seri Bold 9000.
PR Manager BlackBerry Indonesia Yolanda Nainggolan
enggan berkomentar soal isu penyadapan ponsel BlackBerry yang digunakan dua
pejabat tersebut. “Kami tidak bisa berkomentar banyak karena kami juga belum
mengetahui bentuk penyadapannya seperti apa,” terang Yolanda saat ditemui di
Jakarta, Selasa (19/11/2013).
Selama ini keamanan menjadi fokus BlackBerry dalam
menyediakan layanan untuk segmen korporasi dan pemerintah. Namun, hal itu tidak
menjamin ponsel BlackBerry terbebas dari penyadapan.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian
Komunikasi dan Informatika Gatot S Dewa Broto mengatakan, ponsel BlackBerry
yang dikenal aman sekalipun bisa disadap. "Pada dasarnya ponsel apa saja
bisa disadap, dan caranya terbilang mudah," katanya.
Selain BlackBerry, ponsel merek lain juga digunakan
oleh pejabat Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya,
Kristiani Herawati atau lebih dikenal dengan Ani Yudhoyono, tercatat memakai
Nokia E90.
Pejabat lain yang disadap adalah Jusuf Kalla yang
menggunakan Samsung SHG-Z370, Andi Mallarangeng memakai Nokia E71, Widodo Adi
Sucipto dengan Nokia E66, serta Hatta Rajasa, Sofyan Djalil, dan Sri Mulyani
Indrawati memakai Nokia E90.
Hukuman untuk penyelenggara telekomunikasi yang
menyadap
Aksi penyadapan ponsel dapat dilakukan melalui
jaringan yang dimiliki penyelenggara telekomunikasi. Sejauh ini, menurut Gatot,
belum terbukti apakah kegiatan penyadapan tersebut dilakukan atas kerja sama
dengan penyelenggara telekomunikasi atau operator seluler di Indonesia.
“Namun, jika kemudian terbukti, maka penyelenggara
telekomunikasi yang bersangkutan dapat dikenai pidana yang diatur dalam UU
Telekomunikasi dan UU ITE,” kata Gatot.
Aksi penyadapan bertentangan dengan Pasal 40 UU No 36
Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang melarang setiap orang melakukan
kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan
telekomunikasi.
Penyadapan juga dilarang dalam Pasal 31 UU No 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut Gatot,
penyadapan dimungkinkan untuk tujuan tertentu, tetapi harus mendapat izin dari
aparat penegak hukum.
Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Telekomunikasi, adalah kurungan penjara
maksimal 15 tahun. Sementara dalam Pasal 47 UU ITE, hukuman maksimal atas
kegiatan penyadapan adalah penjara 10 tahun atau denda paling banyak Rp 800
juta.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar