ada seorang sahabat yang menjadi pengamat kelahiran
yang cermat. Setelah pergi ke banyak negara, menyaksikan demikian banyak
kelahiran manusia ternyata ada yang sama di antara semua kelahiran: bayinya
menangis, dan tangisannya hampir sama. Entah itu di Eropa, Amerika, Australia
sampai dengan Asia semuanya bermuara pada hal serupa ini. Sehingga menimbulkan
pertanyaan, "Apa tanda-tanda kehidupan yang bersembunyi di balik semua
ini?"
Tentu sangat terbuka peluang untuk lahirnya berbagai
penafsiran dari sini. Dan seorang sahabat ada berbisik, "Kalau bayi lahir
menangis adalah tanda-tanda awal dari penderitaan. Mau lahir di keluarga kaya
raya, berlimpah cinta sampai dengan yang disebut sempurna, tetap saja manusia
tidak bebas dari penderitaan." Paling tidak pasti kena sakit, umur tua dan
ditakut-takuti kematian. Dan tangisan yang serupa menunjukkan bahwa ia terjadi
di semua tempat dan waktu.
Lebih-lebih di zaman ini. Pada zaman sejumlah hal
menyentuh hati terjadi tidak henti-hentinya: bunuh diri, gantung diri, perang,
petaka alam dan masih bisa ditambah dengan yang lain. Sehingga mudah sekali
membukakan pintu keingintahuan, "Kalau memang isi hidup ini adalah
penderitaan, apakah kematian adalah jalan pembebasan?" Kalau kematian
adalah jalan pembebasan, bukankah bunuh diri sekaligus gantung diri adalah
langkah-langkah pembebasan? Sungguh tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan
berat ini.
Sejumlah guru pernah bertutur serius, bahwa
penderitaan manusia berakar pada identifikasi berlebihan pada badan dan
pikiran. Badan dengan lobang-lobangnya di satu sisi memang menjadi sarana
bertumbuh (mulut untuk makan, hidung untuk bernapas, dst), namun di lain sisi
ia adalah pembuka jalan bagi penderitaan. Mulut yang nafsunya berlebihan adalah
awal berbagai penyakit. Lobang seks di bawah kalau diikuti, semuanya bisa
hancur dalam semalam.
Pikiran juga serupa, ia pembantu yang baik, namun
penguasa yang amat berbahaya. Sebagai pembantu, pikiran membantu berhitung,
mengenali hitam-putih, baik-buruk dst. Namun sebagai penguasa yang sifatnya
dualistik (kiri-kanan, sukses-gagal), pikiran juga yang membuat manusia
senantiasa berguncang. Tidak puas dengan titik kehidupan, kemudian melompat ke
titik ekstrem lain yang bernama kematian. Tidak puas dengan keramaian, melompat
ke titik ekstrem lain yang bernama sunyi-sepi. Ada satu hal yang tersisa dari sini:
kehidupan yang berguncang!
Sehingga bisa dimaklumi, kalau ada seorang guru yang
mengandaikan kehidupan manusia dengan a circle without center. Sebuah lingkaran
berputar tanpa titik pusat. Di luar titik pusat, tidak ada hal lain terkecuali
guncangan. Habis di atas, di bawah. Habis di kiri, di kanan. Habis kaya,
miskin. Setelah bahagia, menderita. Setelah senang, sedih. Guncangan, guncangan
dan hanya guncangan. Tentu tidak terlalu mengejutkan menyaksikan kemudian,
kalau di negara kaya seperti AS kemudian konsumsi pil tidur tergolong yang
paling tinggi. Di keluarga kaya mudah sekali dipicu untuk tergelincir ke dalam
pertengkaran dan perceraian. Semakin jauh kaki melangkah dari titik pusat
(sebutlah amat kaya), semakin mungkin ia tergelincir ke titik ekstrem lain yang
sama jauhnya dari titik pusat.
Dari sini, ada yang bertanya, "Apa dan di mana
titik pusat kehidupan?" Sebuah keinginan intelektual sederhana, namun
memerlukan sejumlah langkah berat untuk merealisasikannya. Sederhana, karena
bisa dijelaskan dengan bahasa sederhana. Berat karena hanya latihan yang tekun
yang bisa menghantar manusia ke sana. Ada banyak penjelasan tentang titik
tengah. Sekumpulan orang timur (seperti Buddha, Confucius sampai Lao Tze)
menyebut titik pusat ada
di jalan tengah (the middle way). Seperti menyetel
senar gitar, terlalu kencang putus, terlalu kendor tidak berbunyi. Pengagum
cinta, menyebutkan kalau titik tengah ada dalam cinta. Do everything lovingly,
demikian saran sederhana namun mendasar. Sebab, apa saja yang dilakukan penuh
cinta (dari menyapu, mengepel, menjadi ibu rumah tangga, sampai dengan bekerja)
akan otomatis menggiring manusia ke titik pusat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar